touch every thought with your heart
and u'll see something that was you won in your life

Belajar Dari Kehidupan


Sabtu, 21 Maret 2009

Belajar bahwa hidup ini begitu bervariasi. Tak pernah saya bayangkan sebelumnya, bahwa semalam saya berkutat dengan sebagian kecil dunia malam di kota Semarang.

Saya sendiri adalah anak pertama dari sebuah keluarga sederhana dan mempunyai dua orang adik laki-laki yang juga membuat saya banyak belajar tentang dunia psikologi perkembangan anak. Meski saya seorang anak perempuan, akan tetapi ayah saya mendidik saya dengan penuh ketegasan terutama masalah agama. Saya rasa beliau ingin saya menjadi seseorang yang tegar seperti beliau. Dari beliau pula saya banyak belajar mengenai nilai kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi berbagai cobaan yang Allah SWT karuniakan kepada keluarga kami.

Saya begitu bersyukur, Allah SWT tiada henti-hentinya memberikan nikmat kepada keluarga saya. Dia memberikan saya tidak hanya dua tetapi tiga orang tua. Saat saya menginjak usia 15 tahun, saya dan kedua adik say yang saat itu masih sangat kecil, harus kehilangan sosok seorang ibu yang begitu menyanyangi dan memahami kami. Siapa yang tak sedih kehilangan orang yang kita cintai?. Akan tetapi kami sekeluarga percaya bahwa semua kehendak-Nya adalah yang terbaik bagi kami. Karena Ibu memang telah lama sekali menderita penyakit tumor yang juga menggerogoti syaraf otaknya. Kami mencoba untuk mengikhlaskan beliau karena kami yakin jalan itu yang terbaik bagi beliau (Semoga Allah SWT membahagiakan beliau serta menerima semua amalan baiknya, Amin).

Akan tetapi Allah SWT yang Maha Adil dan Maha Pengasih menunjukkan KeAgungan-Nya dengan mengirimkan seorang wanita yang tegas dan berdisiplin tinggi sebagai pengganti sosok Ibu. Kami panggil beliau dengan sebutan Mama. Dari Ibu dan Mama saya belajar bagaimana mendidik anak dengan baik.

Sejujurnya, dari semenjak sekolah menengah pertama saya yang memang diberi kelebihan nikmat oleh Allah SWT untuk merantau dan mengenyam Agama lebih dalam di sebuah Pondok Pesantren di Kota Semarang membuat saya belajar bagimana cara bergaul dengan berbagi macam tipe orang. Dari yang benar-benar baik sampai teman-teman yang kebetulan memiliki latar belakang yang kurang bagus dalam keluarga (sampai-sampai mereka memutuskan untuk lebih senang menerjuni dunia premanisme). Dan dengan pengalaman seperti itu tentu saja saya merasa lebih nyaman untuk bergaul dengan orang-orang yang “baik”. Karena semula saya berfikir, untuk apa saya bergaul dengan orang-orang yang seperti preman, bukan kebaikan mungkin yang akan saya peroleh akan tetapi mungkin saja saya yang justru akan merugi.

Allah SWT yang begitu menyayangi hamba-hamba-Nya kembali menegur saya lewat kejadian semalam. Karena sesungguhnya bukanlah kita yang berhak untuk menentukan kedudukan seorang hamba di mata Allah SWT. Hanya Dia-lah yang berhak menentukan apakah seorang hamba menjadi hina ataukah tinggi derajadnya. Hanya Dia-lah Maha mengetahui akan segala hal.

Pukul 19.30 WIB saya dan tiga orang teman saya pergi berkeliling ke beberapa tempat di Pusat Kota Semarang. Semula saya ragu apakah saya jadi ikut terjun langsung,karena rasa-rasanya memang saya tidak nyaman bepergian di malam hari. Akan tetapi dengan membenahi niat dan meyakinkan hati bahwa Allah akan melindungi kami berempat akhirnya saya memutuskan untuk tetap pergi.

Tujuan kami saat itu adalah mengambil video nyata kisah anak-anak jalanan. Demi terciptanya film documenter yang berkualitas tentunya, kami mencoba mewawancarai beberapa orang yang berprofesi menjadi pengamen jalanan. Target pertama, sebut saja namanya Joko, lahir di Kediri dan telah menjadi pengamen sejak usia remaja di Kota Semarang. Dari dia, kami sedikit tahu bagaimana pengelolaan para pengamen jalanan yang sudah dewasa. Dari ceritanya kami menyimpulakan sudah ada pengelolaan yang cukup teratur, akan tetapi ketika kami menanyainya tentang kehidupan pengamen yang masih kecil, dia hanya menjawab “Wah kalo itu saya ndak tahu mbak?”.

Yang kedua dan ketiga, kami berhasil mewawancarai segerombolan orang yang kebetulan saat itu lewat. Semula kami agak ngeri karena tampang dan cara bicara mereka yang terkesan “SANGAR”. Tetapi ya itu, sekali lagi saya membuktikan bahwa benar adanya pepatah yang mengatakan ”Ajining Raga Sangka Busana Ajining Ati Sangka Lathi” yang kurang lebih berarti wibawa akan terlihat dari busana, dan hati akan terlihat dari perkataan. Ternyata setelah kami mencoba bicara dengan orang-orang yang semula kami pikir ”sangar” itu, kami justru malah mendapatkan informasi yang lumayan banyak tentang kehidupan anak-anak jalanan. Tentang sebut saja beberapa komunitas pengamen jalanan yang sejak kecil harus berkutat dengan kekerasan. Penilaian saya : sungguh ironis disaat Bangsa ini sudah Merdeka akan tetapi generasinya masih banyak yang terjajah oleh tangan-tangan kotor bangsa sendiri.

Dari cerita beberapa sumber yang telah kami wawancarai, kami jadi agak sedikit ngeri bila membayangkan bagaimana jadinya kalu kami tetap nekat mengambil video nyata anak-anak itu. Mungkin lain waktu saja kami melanjutkan misi kami. Karena malam juga mulai larut, walaupun kawasan yang kami kunjungi semakin ramai, saya semakin merasa tidak nyaman. Lagipula saya keder jika harus berlama-lama di tempat yang menurut saya cukup membuat bulu roma merinding (tapi bukan karena adanya dunia gaib lho)melainkan karena semakin majunya peradaban manusia kok semakin menjauhkan manusia dari Tuhan mereka. Semula saya hanya menyaksikan semuanya lewat layar kaca, kini saya benar-benar menyaksikan semua dengan mata telanjang.

Huff….mau jadi apa Bangsa ini….
0 komentar:

Followers

Mengenai Saya

Foto saya
Hanyalah ibu dari kedua adik laki-lakiku Yang mencoba untuk tetap bersyukur, atas segala hal yang telah Tuhan anugerahkan Kepadaku. Dan yang terus berusaha mewujudkan mimpi, membina sebuah keluarga kecil yang hidup dalam kejujuran dan cinta...

Arsip Blog