touch every thought with your heart
and u'll see something that was you won in your life

Satu Pagi di Hari Raya Terakhir

Satu Pagi Di Hari Raya Terakhir

19 Agustus 2012, 1 Syawal 1433 H
Allahu Akbar…
Allahu Akbar…
Allahu Akbar…
La Ilaaha Illallahu Allahu Akbar…
Allahu Akbar Walillahilhamd…
Takbir dan Tahmid kembali berkumandang. Di pagi yang cerah di hari yang dinanti umat Islam di seluruh dunia ini, air mataku kembali tak dapat kubendung. Ingatan akan hari raya terakhir itu membuat hatiku begitu ngilu. Sesalpun tak akan mampu mengembalikan waktu yang telah berlalu. Dan kini aku kembali di tempat ini, bersama hatiku yang terasa sepi.

***

31 Agustus 2011, 1 Syawal 1432 H
Anak itu berlari kecil mendekati seorang wanita yang tengah berdzikir di sebelahku. Setengah merengek, samar kudengar ia meminta wanita di sebelahku itu untuk mengantarkannya ke kamar kecil. Pandanganku lantas tertuju kepada keduanya. Kepada wanita yang tengah membujuk anak yang tak lain adalah adikku.
Seperti yang sudah kuperkirakan, wanita yang sudah tujuh belas tahun kupanggil ibu itu pasti akan memintaku untuk menemani adikku ke kamar mandi. Padahal aku yakin, sebentar lagi shalat Ied yang hanya setahun sekali ini akan segera dimulai.
“Mba Ninok, antarkan adik ke kamar mandi ya?”
 “Disuruh nahan dulu aja lah, bu. Kan bentar lagi shalat Ied-nya udah mo dimulai.” setengah menolak, aku menjawab.
Tetapi dengan bahasanya yang lembut,, ibu kembali memintaku, “Kasihan adek kan mba Ninok. Paling juga adek ndak lama. Kan adek cuma pengen pipis.”
“Kok enggak ibu aja yang nemenin adek?” aku kembali menolak permintaan ibu.
“Mba Ninok, ibu minta tolong sekali ini saja ya. Mba ninok ndak mau bantuin Ibu?” masih dengan senyum manisnya, ibu meminta padaku.
Dan akhirnya, dengan sedikit terpaksa, aku menuruti keinginan ibu.
Benar saja, baru satu menit aku dan adikku sampai di kamar kecil, terdengar suara muadzin mengumandangkan iqamah pertanda shalat akan segera dimulai. Adikku yang sudah kusuruh secepat mungkin untuk membuang hajatnya, malah rewel dan tidak mau kembali ke shaf tempatku semula. Padahal kalau hari lebaran seperti ini, sudah pasti masjid akan penuh sesak. Alhasil, aku tidak dapat ikut shalat Ied berjama'ah.
Tak terbayang betapa kesal dan marahnya hatiku saat itu. Ditambah adikku yang semakin merajuk, daripada Ia menangis di dalam masjid, akhirnya kuputuskan untuk pulang saja ke rumahku yang terletak tidak jauh dari masjid.
Sesampainya di rumah, aku lantas menangis sejadi-jadinya di kamarku. Tak kupedulikan adikku yang saat itu sudah sibuk sendiri dengan mainan miliknya. Kecewa sekali rasanya karena aku tidak dapat mengikuti shalat Ied kali ini. Aku jadi lebih sakit hati mengingat kenapa tadi harus aku yang mengantar adikku ke kamar kecil, kenapa bukan ibuku saja yang mengantarnya. Disaat-saat seperti ini, sifat manja dan tidak sabaranku semakin menjadi.
Sepuluh menit kemudian kudengar suara langkah kaki mendekati kamarku, dan tak lama kudengar pintu kamar yang sengaja aku kunci dari dalam diketuk oleh seseorang yang kemudian memanggil manggil namaku.
“Nok… Ninok… Buka, nak.. Ini ibu. Ibu pengen ngomong sama kamu.”
“Ndak mau, ibu jahat! Kan Ninok udah bilang kalo shalat Ied-nya hampir dimulai, kenapa ibu gak mau dengerin Ninok? Sekarang Ninok jadi gak ikut shalat Ied kan?” sambil masih terus menangis, aku mengungkapkan kemarahan hatiku.
“Iya, Nok, ibu tahu ibu salah. Tapi Ibu gak sengaja buat kamu gak bisa ikut shalat. Bukalah pintu ini, Nok, dengarkan dulu penjelasan ibu. Ayolah nak,  masa' hari lebaran begini kamu malah marah sama Ibu?”
Kudengar suara ibu yang agak bergetar. Tak lama kemudian bapak juga datang dan berbicara kepadaku dari ruang tamu.
“Ninok… Ninok… Kan shalat Ied itu hanya shalat sunnah. Masa' hanya gara-gara masalah sepele seperti itu kamu marah pada Ibumu. Apalagi ini kan hari lebaran. Seharusnya kamu bisa memaafkan ibu dan belajar untuk berlapang dada. Masih ada tahun depan untuk shalat Ied,” ujar bapak.

Akhirnya, tak lama kemudian, hatiku luluh juga. Pelan kubuka pintu kamarku. Kulihat senyum ibu memandangku di sela-sela air matanya. Lantas beliau memelukku sambil berucap, “Maaf ya, Nok. Sebenarnya ibu tadi hanya takut, kalau mungkin ini menjadi hari lebaran terakhir Ibu. Ibu ingin ikut shalat Ied untuk terakhir kalinya.”
Rasanya seperti telah dibangunkan dari sebuah mimpi panjang, aku baru sadar bahwa sikapku barusan sudah sangat keterlaluan. Kaget dan sedih mendengar ibu yang begitu mengasihi dan menyayangiku dengan sepenuh hati mengatakan kata-kata seperti itu. Dan akhirnya, kami pun tenggelam dalam pelukan penuh kasih dan berkah saling memaafkan di hari raya ini.
Sejak kejadian di hari raya itu, kesehatan ibu sedikit demi sedikit mulai menurun karena tumor yang diderita olehnya. Padahal sudah banyak sekali jalan yang keluarga kami tempuh untuk mencari kesembuhan beliau. Keadaan beliau jadi kurang stabil, terkadang bisa sangat bagus dan dalam waktu yang singkat kondisinya bisa sangat jatuh. Akan tetapi tak pernah sekalipun aku mendengar keluhan beliau tentang penyakit yang dideritanya itu. Dari situlah aku belajar tentang arti kesabaran dan keikhlasan beliau dalam menjalani hidup.
Pernah suatu malam, aku terbangun mendengar suara isak tangis beliau yang sedang shalat tahajud. Dalam do'a yang dimunajahkannya kepada Allah, tak secuil pun kudengar pintanya untuk kesembuhan penyakitnya. Yang dimintanya hanyalah kebahagiaanku, bapak, dan juga adik-adikku. Seolah penderitaan atas penyakit yang dideritanya bukanlah apa-apa dibandingkan harus melihat orang-orang yang dikasihinya menderita. Ya Rabbi, betapa beruntungnya aku memiliki ibu seperti beliau. Seseorang yang benar-benar mendidikku dengan segala kebaikan hidup.

***

6 Agustus 2009, Nishfu Sya'ban 1430 H
Sudah satu bulan terakhir, kondisi ibu terus menurun. Tiga minggu aku harus izin tidak mengikuti pelajaran di sekolah, karena aku harus menunggui Ibu yang tengah dirawat di rumah sakit. Menetap di sekolah yang berasrama di Luar Kota membuatku harus tinggal jauh dari keluargaku. Dan jika aku harus kembali ke sekolah, itu berarti aku juga harus jauh dari Ibu. Berat, namun hal itulah yang harus aku lakukan.
Satu minggu kembali bersekolah, aku tetap tak dapat focus ,mengikuti pelajaran. Hanya Ibu yang ada dalam fikiranku. Ramadhan hamper tiba, namun kesehatan ibu terus saja menurun. Malam sudah memasuki malam Nisyfu Sya’ban, dan bulan terlihat begitu benderang. Seolah Purnama ingin menghibur setiap jiwa dengan cahaya redupnya. Purnama itu menjadi saksi atas diriku yang begitu ingin berada di samping ibu.
Malam ini, setelah melakukan rutinitas shalat isya’ berjama’ah, entah mengapa aku tak ingin cepat-cepat menutup mata. Hatiku begitu tenang tatkala aku berjalan menuju teras asrama menemani sang purnama yang tengah bersinar di kegelapan malam. Hingga pukul sebelas malam, aku memutuskan kembali ke kamar dan menuju ke tempat peristirahatanku.
***
Pukul tiga dinihari, aku dibangunkan oleh ibu asuh yang selama ini menjaga siswa siswi di asrama.
“Ninok... Bangun! Ada keluargamu datang.”
Setengah sadar, aku terbangun dengan kaget. Ibu asuhku memberitahukan bahwa ada keluargaku yang datang menengokku. Saat itu, tiba-tiba saja ada perasaan takut yang menggelayuti hatiku. Cepat-cepat aku mengganti pakaian. Gelisah aku ingin mengetahui siapakah kiranya gerangan yang datang ke sini sepagi buta ini.
Ternyata itu kedua pamanku. Beliau mengabari bahwa ibu sakit keras dan ingin segera bertemu denganku. Seketika aku lemas, seolah kedua kakiku tak sanggup menahan beban tubuhku. Akan tetapi aku mencoba untuk tetap kuat.
Sebelum pulang, aku meminta izin beberapa menit untuk melakukan shalat sunnah di masjid asrama. Do'aku malam itu, aku hanya minta yang terbaik untuk ibuku, meskipun itu adalah yang terperih untukku. Hanya itu.
***
Empat jam perjalanan hanya kuisi dengan air mata dan kebisuan, karena memang perasaanku benar-benar kacau. Sesekali aku membaca beberapa pesan singkat yang beberapa kali sempat masuk ke handphoneku. Empat jam perjalanan yang kurasakan begitu lama. Hingga kemudian aku sampai di masjid  yang berada tak jauh dari rumahku. Ramai. Kulihat sudah banyak sekali kendaraan yang terpakir di sana.
Setelah kubuka pintu mobil yang membawaku, kulihat dari kejauhan bapak setengah berlari menghampiri dan memelukku dengan sangat erat disertai linangan air mata. Saat itu, aku sadar, aku harus siap apa pun yang terjadi hari ini. Meski dengan sekuat tenaga kubendung perasaan yang meluap-luap ini, aku mencoba meneguhkan hatiku agar dapat kuat menghadapi hal yang tak pernah dapat kubayangkan sebelumnya.
Seketika lututku terasa lemas, tak kuasa lagi aku menahan beban tubuhku. Aku hanya dapat terdiam dalam pelukan ayahku yang juga tak kalah sedihnya atas kejadian hari ini.
***
Pelan, kuhampiri Ibu, permata hati dalam keluarga kami yang kini telah terbujur kaku di hadapanku. Orang yang selama ini selalu mengiringi langkahku, menjadi penopang hatiku, menjadi pelipur laraku pergi tanpa satu kata pun terucap dari bibir manisnya yang selalu tersenyum kepadaku. Wajah manisnya yang menyunggingkan senyum khasnya terlihat begitu tenang dan damai seolah ia hanya tertidur. Dan aku belum dapat memberikan apa-apa sebelum kepergiannya.
Aku hanya dapat menahan perih, di dalam pelukan bapak dan kedua adikku. Perih hanya dapat berucap dalam hatiku yang tak sempat menyampaikan betapa aku mencintai ibu, betapa aku menyayanginya lebih dari siapapun di dunia ini, betapa menyesalnya aku tak dapat memberikan apapun sebelum beliau pergi. Ibu, maafkan ananda yang belum dapat membahagiakanmu, hanya itu yang terus berdengung di telingaku.
Ya, purnama telah menjemput ibu, dan kuyakin akan mengantarkan beliau ke taman syurga. Kami sekeluarga harus dapat mengikhlaskan beliau untuk mendapatkan yang terbaik di sisiNya.
***
22 Agustus 2009, 1 Ramadhan 1430 H

Pukul dua dinihari, aku terbangun dari tidur lelapku. Tiba-tiba saja aku ingin menangis. Malam ini adalah tanggal satu di bulan suci Ramadhan. Di setiap tahun sebelumnya, ibulah yang setiap malam mencium keningku dan membangunkan kami sekeluarga untuk menikmati santap sahur bersama. Ibulah yang senantiasa mempersiapkan segala keperluan kami, sehingga kami tidak terlambat untuk bersantap sahur.
Tapi tidak dengan malam ini, betapa kepergian beliau menyisakan rindu yang menyesakkan jiwa, seolah-olah baru kemarin aku melihat senyum manisnya saat membangunkan aku dari tidur lelapku.
Setelah mengambil air wudhu, aku kemudian bersimpuh kepadaNya, Sang Maha Penguasa atas segalanya, yang Maha Membolak-balikkan Hati. KepadaNya aku memohon ampunan atas segala dosaku dan dosa keluargaku, terutama untuk ibu yang kini sudah berada di dekatNya. Dalam tangisku yang tiada henti mengalir, aku mengungkapkan kerinduanku kepadaNya, berharap rasa hati yang perih ini dapat tersampaikan kepada ibu yang berada sangat jauh dariku.
Saat itulah kudengar suara seseorang yang memanggilku dengan lembut. Kulihat ayah yang berdiri di depan pintu menatapku dengan penuh kasih. Tak lama kemudian aku telah tenggelam di dalam pelukan beliau yang mencoba menenangkanku dan kemudian ayah berkata lirih, “Kamu harus ikhlas, anakku. Belajarlah untuk menjalani semua anugerah Allah ini dengan kesabaran, jangan bersedih. Percayalah, ibu tetap hidup di hati kita.”

***
Sungguh, Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan terberat yang harus kami lalui. Karena orang yang sangat kami kasihi telah dipanggil olehNya. Setiap malam, aku dan ayah sibuk mempersiapkan santap sahur untuk kami sekeluarga. Akulah yang menggantikan ibu untuk membangunkan adik-adikku. Saat itu aku baru sadar, betapa sabarnya ibu kami dulu. Setiap tahun, beliau harus menghadapi berbagai macam sikap kami saat dibangunkan.
Pernah suatu kali, ketika aku dibangunkan, saat itu aku masih duduk di kelas satu SD, masih segar dalam ingatanku ketika aku membawa serta bantalku karena aku masih sangat mengantuk ketika dibangunkan oleh ibu. Sayur nangka yang tersedia dan tergelar di atas tikar untuk santap sahur kami, terpaksa harus terbuang sia-sia karena tak sengaja aku menendangnya saat aku berjalan menuju tikar itu sambil memejamkan mata. Tapi ibu tidak marah, dengan sabar membersihkannya kemudian menggantinya dengan mie instan, kerena memang waktu sahur yang hanya tinggal beberapa menit lagi. Aku sangat merasa bersalah saat itu. Dan sejak itu pula, aku tidak pernah rewel jika dibangunkan oleh ibu untuk bersantap sahur.
Sebulan penuh telah kami lalui tanpa kehadiran ibunda. Setiap malam kami bersantap sahur dengan ala kadarnya, mencoba untuk tetap bersabar meski hati kami dirundung duka. Besok pagi, tepat tanggal 1 syawal, dan itu berarti adalah hari kemenangan kami. Tak urung, tangis sedih dan bahagia bercampur menjadi satu. Meluap seakan tak ingin terhenti oleh berjalannya waktu.
Malam ini pun tak dapat kupejamkan mata, teringat saat kuselipkan duka di Hari Raya terakhirku bersama Ibunda. Tak pernah kusangka, kata-kata Ibu waktu itu menjadi kenyataan. Saat Ibu mengatakan bahwa Hari Raya Tahun kemarin adalah Hari Raya terakhirnya.
Kupandangi wajah adik-adikku yang telah tertidur pulas. Dalam hatiku, aku berjanji akan selalu menjaga mereka. Mengenalkan mereka kepada Sang Pencipta dan RasulNya. Layaknya Ibu yang dahulu begitu sabar mengenalkan aku kepada cintaNya. Karena mereka adalah titipan ibu untukku. Agar ibu bahagia melihat kami tumbuh bersama anugerah kasihNya. Dan tak lama kemudian, mata ini pun terpejam.
***
Samar kudengar suara merdu seseorang tengah membaca Al-Qur’an di sebelah tempat tidurku. Saat aku membuka mata, kulihat seseorang dengan mukena putih bersih dan terlihat begitu cantik. Kudengarkan dengan seksama, dia membaca surah yang begitu menyentuh hatiku. Surah Ar-Rahman. Aku terpaku, tak ingin bergerak sedetik pun. Kudengar bacaan surah itu sampai selesai.
“Tabaarakasmu Rabbika dhiljalaali Wal Ikraam. Shadaqallahul Adhiim…”
Wanita itu mengarahkan pandangannya ke arahku dan kemudian tersenyum. Aku tersentak, itu ibu. Tak kuasa aku menahan diri, segera aku bangun dan memeluknya. Seolah aku tak ingin lagi kehialangan beliau. Kukecup kening dan tangan beliau, dan kutidur di pangkuannya ditemani belaian lembut jemarinya hingga aku kembali terlelap.
***

“Ninok… Ninok… Bangun, Nok! Sudah shalat subuh belum kamu? Kok tidur di lantai?”
Aku terbangun oleh suara Ayah.
Kaget, ternyata semua yang kualami semalam hanyalah bunga tidur. Tapi tunggu, kenapa aku tidur di lantai. Beralaskan sajadah dan di sampingku ada musyaf yang terlihat terbuka. Dengan penasaran aku melihat halaman musyaf yang terbuka di sampingku. Dan di halaman itu tertulis Surah Ar-Rahman.
Dan hari ini, di hari raya yang pertama tanpa kehadiran Ibunda, aku pun kembali menangis, entah sedih atau bahagia, hanya Allah yang tahu.
END
2 komentar:

Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun, semoga ibunda berpulang ke rahamtullah dengan membawa iman dan islam, diampuni segala dosa dan khilafnya, dilapangkan kuburnya dan ditempatkan di syurga Nya, amin.
Tetap sabar, sadar dan istiqomah saudariku, doakan selalu Ibu ( juga keluarga kita ) karena kita berharap kelak kita akan berkumpul bersama mereka di Syurga Nya.


Amin.... Ya Rabbal 'Alamiin...


Followers

Mengenai Saya

Foto saya
Hanyalah ibu dari kedua adik laki-lakiku Yang mencoba untuk tetap bersyukur, atas segala hal yang telah Tuhan anugerahkan Kepadaku. Dan yang terus berusaha mewujudkan mimpi, membina sebuah keluarga kecil yang hidup dalam kejujuran dan cinta...

Arsip Blog